Halaman

Sabtu, 12 Oktober 2013

Kota Bukittinggi


 
Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat , Indonesia . Kota ini pernah menjadi Ibu Kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia . Kota ini juga pernah menjadi Ibu Kota Provinsi Sumatera dan Provinsi Sumatera Tengah .

Bukittinggi sebelumnya disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya dijuluki sebagai Paris van Sumatra selain Kota Medan . Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia , di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia .

Selain sebagai kota perjuangan , Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara ( sister city ) dengan Seremban di Negeri Sembilan , Malaysia . Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam . Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang , yaitu sebuah menara jam yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada di tepi Ngarai Sianok .

Sejarah
Kota Bukittinggi semula merupakan pasar ( pekan ) bagi masyarakat Agam Tuo . Kemudian setelah kedatangan Belanda , kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk melawan Kaum Padri . Pada tahun 1825 , Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit yang terdapat di dalam kota ini . Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock , sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya . Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda , kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah stadsgemeente ( kota ) dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam . Pada masa pendudukan Jepang , Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera , bahkan sampai ke Singapura dan Thailand . Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai , di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji . Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku , Gadut , Kapau , Ampang Gadang , Batu Taba , dan Bukit Batabuah . Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam .
Setelah kemerdekaan Indonesia , Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera , dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan . Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947 .
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia , Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan , ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) . Di kemudian hari , peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara , berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006 .
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Tengah masa itu , yang meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat , Jambi , Riau , dan Kepulauan Riau sekarang .
Dalam rangka perluasan wilayah kota , pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota . Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang , Gaduik , Sianok Anam Suku , Guguak Tabek Sarojo , Ampang Gadang , Ladang Laweh , Pakan Sinayan , Kubang Putiah , Pasia , Kapau , Batu Taba , dan Koto Gadang . Namun , sebagian masyarakat di nagari-nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi sehingga , peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan .

Geografi

Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi . Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut , dan memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C . Sementara itu , dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini ( 25,24 km² ) , 82,8% telah diperuntukkan menjadi lahan budidaya , sedangkan sisanya merupakan hutan lindung .
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah , beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan , di antaranya Bukit Ambacang , Bukit Tambun Tulang , Bukit Mandiangin , Bukit Campago , Bukit Kubangankabau , Bukit Pinang Nan Sabatang , Bukit Canggang , Bukit Paninjauan , dan sebagainya . Selain itu , terdapat lembah yang dikenal dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m , yang di dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang .

Kependudukan

Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau . Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods . Masyarakat setempat mengejanya dengan loih , dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang .
Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di Provinsi Sumatera Barat , dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km² . Jumlah angkatan kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran . Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau , namun terdapat juga etnis Tionghoa , Jawa , Tamil , dan Batak .
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi . Mereka diizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit Benteng Fort de Kock , yang terletak di bagian barat kota , membujur dari selatan ke utara , dan saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino . Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara , melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling .

Pemerintahan

Sejak tahun 1918 Kota Bukittinggi telah berstatus gemeente , selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km² . Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas . Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun Jepang .
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten Agam , dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut , ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam . Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah Kota Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km² , dengan memasukkan beberapa nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi Kota Bukittinggi .
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota , muncul kembali penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah Kota Bukittinggi tersebut . Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini , merasa rugi karena dengan kembalinya penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan , dibandingkan berada dalam sistem kelurahan . Selain itu timbul asumsi , masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari .

Pendidikan

Sejak zaman kolonialis Belanda , kota ini telah menjadi pusat pendidikan di Pulau Sumatera . Dimulai sejak tahun 1872 , dengan berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers ( sekolah guru untuk guru-guru bumiputra ) atau dikenal juga dengan nama sekolah radja , yang selanjutnya berkembang menjadi volksschool atau sekolah rakyat . Kemudian pada tahun 1912 muncul Hollandsch Inlandsche School ( HIS ) , yang dilanjutkan dengan berdirinya Sekolah Pamong Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren ( OSVIA ) tahun 1918 . Pada tahun 1926 juga telah berdiri MULO di Kota Bukittinggi .
Pada masa awal kemerdekaan di kota ini pernah berdiri sekolah Polwan dan Kadet serta sekolah Pamong Praja yang pertama di Indonesia . Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan FKIP Universitas Andalas ( sekarang Universitas Negeri Padang ) juga pertama kali didirikan di kota ini sebelum dipindahkan ke Kota Padang .

Kesehatan Perhubungan

Kota Bukittinggi telah memiliki pelayanan kesehatan yang baik , kota dengan luas relatif kecil ini telah memiliki 5 rumah sakit , yaitu 3 milik pemerintah dan 2 milik swasta . Selain itu , juga didukung oleh 5 puskesmas , 6 puskesmas keliling , dan 15 puskesmas pembantu . Salah satu yang utama adalah Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar , merupakan rumah sakit umum milik pemerintah bertipe B dengan jumlah tempat tidur sebanyak 299 .
Rumah Sakit Stroke Nasional yang terdapat di kota ini , merupakan rumah sakit milik pemerintah dengan pelayanan khusus penyakit stroke , dan memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 124 buah . Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus pengobatan stroke pertama di Indonesia dan ketiga di dunia . Selain itu terdapat juga Rumah Sakit Islam Ibnu Sina , sebuah rumah sakit swasta yang telah memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 136 buah .
Sementara itu untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat , sampai tahun 2009 terdapat delapan institusi pendidikan tenaga kesehatan di Kota Bukittinggi . Dua institusi milik pemerintah ( Poltekes ) dan enam dikelola oleh pihak swasta .

Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera , yang menghubungkan Padang , Medan , dan Palembang , serta berada di antara Padang dan Pekanbaru . Terminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini . Sementara untuk transportasi dalam kota , tersedia angkutan kota , taksi , dan bendi ( kereta kuda ) .
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan Payakumbuh dan Padang yang dibangun sekitar awal abad ke-20 . Namun pada dekade 1970-an , sarana transportasi ini tidak diaktifkan lagi . Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non-kelas yang bernama Bandar Udara Gadut .

Perekonomian

Perkembangan pasar Loih Galuang yang sekarang disebut juga Pasar Ateh , membuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900 mengembangkan sebuah loods ke arah timur , tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit . Karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan , masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Pasar Teleng ( Miring ) atau Pasar Lereng . Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar , di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto . Pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jam Gadang ini , kemudian berkembang menjadi tempat penjualan hasil kerajinan tangan dan cendera mata khas Minangkabau . Dalam penataan pasar , pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang ( anak tangga ) , dan di antara anak tangga yang terkenal adalah Janjang 40 .
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan , pemerintah Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning , yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera . Disebabkan luas wilayah yang kecil , sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan bagi pemerintah Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan penduduknya .
Selain itu pemerintah Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan , di antaranya pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya , serta penumbuhan wirausaha baru . Bordir asli Bukittinggi biasanya menggunakan teknik krancang langsung yang tergolong rumit dan memakan waktu . Ini berbeda dengan barang hasil serupa buatan Tasikmalaya , Jawa Barat yang menggunakan teknik krancang solder .

Pariwisata

Industri pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kota Bukittinggi . Banyaknya objek wisata yang menarik , menjadikan kota ini dijuluki sebagai " kota wisata " . Pada tahun 2012 , jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi kota ini mencapai 26.629 orang . Saat ini di Bukittinggi terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan . Hotel-hotel yang terdapat di Bukittinggi antara lain The Hills , Hotel Pusako , dan Grand Rocky Hotel .
Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama . Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok . Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut dengan Lubang Japang . Untuk mengunjungi nagari Koto Gadang di bawah ngarai , wisatawan bisa melalui Janjang Koto Gadang . Jenjang yang memiliki panjang sekitar 1 km ini , memiliki desain seperti Tembok Besar China .
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau . Kebun Binatang Bukittinggi dan Benteng Fort de Kock , dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh . Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi .
Pasar Ateh ( Pasar Atas ) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota . Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir , serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat , seperti keripik sanjai ( keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi ) yang terbuat dari singkong , karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau , dan karak kaliang , sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8 .

Olahraga

Masyarakat Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda , dan setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang , yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889 . Perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan di beberapa kawasan lain di Sumatera Barat . Dengan adanya pelombaan ini , mendorong para peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini sebagai sumber mata pencarian .

Pers Media

Sekitar tahun 1924 di kota ini diterbitkan surat kabar Periodik yang dipimpin oleh S. Moesjafir , kemudian disusul penerbitan surat kabar mingguan Doenia Achirat oleh Sain al Malik dan Soetan Perpatih , namun surat kabar ini tidak berumur panjang . Selain itu beberapa tokoh pers wanita di kota ini seperti Djanewar Djalil dan Sjamsidar Jahja juga menerbitkan surat kabar Soeara Poetri yang mengetengahkan beberapa isu emansipasi wanita .
Pada masa pendudukan Jepang , di kota ini pernah didirikan pemancar radio terbesar untuk Pulau Sumatera . Pemancar ini dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan Perang Asia Timur Raya versi Jepang . Di kota ini terdapat beberapa stasiun pemancar radio sebagai sarana informasi dan hiburan masyarakat , antara lain : RRI Bukittinggi , Elsi FM  , SK FM , dan GRC FM .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar