Budaya Minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau
dan berkembang di seluruh kawasan berikut daerah perantauan
Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar
di Nusantara
yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat
egaliter, demokratis, dan sintetik, yang menjadi anti-tesis bagi
kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik.
Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya.
Sejarah
Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat
untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat
kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai
(cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang
pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran).
Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan
pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam.
Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau
yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang
beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain
belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri
pencak silat.
Produk kebudayaan
A. Kemasyarakatan dan filosofi
Kepemimpinan
Masyarakat
Minangkabau memiliki filosofi bahwa "pemimpin itu hanyalah ditinggikan
seranting dan didahulukan selangkah." Artinya seorang pemimpin haruslah
dekat dengan masyarakat yang ia pimpin, dan seorang pemimpin harus siap
untuk dikritik jika ia berbuat salah. Dalam konsep seperti ini, Minangkabau tidak mengenal jenis pemimpin
yang bersifat diktator dan totaliter. Selain itu konsep budaya
Minangkabau yang terdiri dari republik-republik mini, dimana
nagari-nagari sebagai sebuah wilayah otonom, memiliki kepala-kepala kaum
yang merdeka. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, serta
dipandang sejajar di tengah-tengah masyarakat.
Dengan filosofi tersebut, maka Minangkabau banyak melahirkan
pemimpin-pemimpin yang amanah di berbagai bidang, baik itu politik,
ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. Sepanjang abad ke-20, etnis
Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat di Indonesia yang
paling banyak melahirkan pemimpin dan tokoh pelopor. Mereka antara lain : Tan Malaka, Mohammad Hatta, Yusof Ishak, Tuanku Abdul Rahman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Assaat, Hamka, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, Abdul Halim dan lain-lain.
Pendidikan
Budaya
Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah
dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa
"alam terkembang menjadi guru", merupakan suatu adagium yang mengajak
masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan
Islam, pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat
istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong
setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan
para pemuda kampung.
Setelah kedatangan imperium Belanda, masyarakat Minangkabau mulai
dikenalkan dengan sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu sosial dan
ilmu alam. Pada masa Hindia-Belanda,
kaum Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling
bersemangat dalam mengikuti pendidikan Barat. Oleh karenanya, di
Sumatera Barat banyak didirikan sekolah-sekolah baik yang dikelola oleh
pemerintah maupun swasta.
Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung
halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak diantara mereka
yang pergi merantau. Selain ke negeri Belanda, Jawa juga merupakan tujuan mereka untuk bersekolah. Sekolah kedokteran STOVIA
di Jakarta, merupakan salah satu tempat yang banyak melahirkan
dokter-dokter Minang. Data yang sangat konservatif menyebutkan, pada
periode 1900 – 1914, ada sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan
orang-orang Minang.
Kewirausahaan
Orang
Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos kewirausahaan
yang tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan serta bisnis
yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh Indonesia. Selain
itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan dari Malaysia
dan Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan di
Sumatera dan Selat Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad
ke-18, para pedagang Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan
rempah-rempah. Meskipun ada pula yang menjual senjata ke Kerajaan Malaka, namun jumlahnya tidak terlalu besar.
Pada awal abad ke-18, banyak pengusaha-pengusaha Minangkabau yang
sukses berdagang rempah-rempah. Di Selat Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda
Intan, dan Nakhoda Kecil, merupakan pedagang-pedagang lintas selat yang
kaya. Kini jaringan perantauan Minangkabau dengan aneka jenis usahanya,
merupakan salah satu bentuk kewirausahaan yang sukses di Nusantara.
Mereka merupakan salah satu kelompok pengusaha yang memiliki jumlah aset
cukup besar. Pada masa-masa selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan pengusaha-pengusaha besar diantaranya Hasyim Ning, Rukmini Zainal Abidin, Anwar Sutan Saidi, Abdul Latief, Fahmi Idris, dan Basrizal Koto.
Pada masa Orde Baru pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami
situasi yang tidak menguntungkan karena tiadanya keberpihakan penguasa
Orde Baru kepada pengusaha pribumi.
Demokrasi
Produk
budaya Minangkabau yang juga menonjol ialah sikap demokratis pada
masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena
sistem pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari yang otonom,
dimana pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah
mufakat. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat yang mengatakan bahwa
"bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
ditengarai berasal dari semangat demokrasi Minangkabau, yang mana
rakyat/masyarakatnya hidup di tengah-tengah permusyawaratan yang
terwakilkan.
Harta pusaka
Dalam
budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta pusaka
tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan
turun-temurun dari leluhur yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum,
sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang
diwariskan menurut hukum Islam.
Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang
diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa
rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan.
Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh
datuk kepala kaum. Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain;
hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah, menangkap ikan
hasil kolam, dan hak menggembala.
Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh
digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan
setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan
kepada suku yang sama tetapi dapat juga di gadaikan kepada suku lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat hal:
- Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang belum bersuami)
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
- Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)
Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
- Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
- Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam)
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Kontroversi Hukum Islam
Menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh
yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki.
Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada
anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan kontoversi dari sebagian ulama.
Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Agus Salim. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekkah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan oleh sebab itulah ia tidak mau kembali ke ranah Minang. Sikap Abdul Karim Amrullah
berbeda dengan ulama-ulama di atas. Beliau mengambil jalan tengah
dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf,
yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh
diperjualbelikan.
B. Seni
Arsitektur
Arsitektur
Minangkabau merupakan bagian dari seni arsitektur khas Nusantara, yang
wilayahnya merupakan kawasan rawan gempa. Sehingga banyak rumah-rumah
tradisionalnya yang berbentuk panggung, menggunakan kayu dan pasak,
serta tiang penyangga yang diletakkan di atas batu tertanam. Namun ada
beberapa kekhasan arsitektur Minangkabau yang tak dapat dijumpai di
wilayah lain, seperti atap bergonjong. Model ini digunakan sebagai
bentuk atap rumah, balai pertemuan, dan kini juga digunakan sebagai
bentuk atap kantor-kantor di seluruh Sumatera Barat. Di luar Sumatera
Barat, atap bergonjong juga terdapat pada kantor perwakilan Pemda
Sumatera Barat di Jakarta, serta pada salah satu bangunan di halaman Istana Seri Menanti, Negeri Sembilan. Bentuk gonjong diyakini berasal dari bentuk tanduk kerbau, yang sekaligus merupakan ciri khas etnik Minangkabau.
Masakan
Memasak
makanan yang lezat merupakan salah satu budaya dan kebiasaan masyarakat
Minangkabau. Hal ini dikarenakan seringnya penyelenggaraan pesta adat,
yang mengharuskan penyajian makanan yang nikmat. Masakan Minangkabau
tidak hanya disajikan untuk masyarakat Minangkabau saja, namun juga
telah dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh Nusantara. Orang-orang Minang biasa menjual makanan khas mereka seperti rendang, asam pedas, soto padang, sate padang, dan dendeng balado di rumah makan yang biasa dikenal dengan Restoran Padang. Restoran Padang tidak hanya tersebar di seluruh Indonesia, namun juga banyak terdapat di Malaysia, Singapura, Australia, Belanda, dan Amerika Serikat. Rendang salah satu masakan khas Minangkabau, telah dinobatkan sebagai masakan terlezat di dunia.
Masakan Minangkabau merupakan masakan yang kaya akan variasi bumbu.
Oleh karenanya banyak dimasak menggunakan rempah-rempah seperti cabai,
serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Kelapa
merupakan salah satu unsur pembentuk cita rasa masakan Minang. Bahan
utama masakan Minang antara lain daging sapi, daging kambing, ayam,
ikan, dan belut. Orang Minangkabau hanya menyajikan makanan-makanan yang
halal, sehingga mereka menghindari alkohol dan lemak babi. Selain itu
masakan Minangkabau juga tidak menggunakan bahan-bahan kimia untuk
pewarna, pengawet, dan penyedap rasa. Teknik memasaknya yang agak rumit
serta memerlukan waktu cukup lama, menjadikannya sebagai makanan yang
nikmat dan tahan lama.
Literasi
Masyarakat
Minangkabau telah memiliki budaya literasi sejak abad ke-12. Hal ini
ditandai dengan ditemukannya aksara Minangkabau. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah merupakan salah satu literatur masyarakat Minangkabau yang pertama. Tambo Minangkabau yang ditulis dalam Bahasa Melayu,
merupakan literatur Minangkabau berupa historiografi tradisional. Pada
abad pertengahan, sastra Minangkabau banyak ditulis menggunakan Huruf Jawi.
Di masa ini, sastra Minangkabau banyak yang berupa dongeng-dongeng
jenaka dan nasehat. Selain itu ada pula kitab-kitab keagamaan yang
ditulis oleh ulama-ulama tarekat. Di akhir abad ke-19, cerita-cerita
tradisional yang bersumber dari mulut ke mulut, seperti Cindua Mato, Anggun Nan Tongga, dan Malin Kundang mulai dibukukan.
Pada abad ke-20, sastrawan Minangkabau merupakan tokoh-tokoh utama
dalam pembentukan bahasa dan sastra Indonesia. Lewat karya-karya mereka
berupa novel, roman, dan puisi, sastra Indonesia mulai tumbuh dan berkembang. Sehingga novel yang beredar luas dan menjadi bahan pengajaran penting bagi pelajar di seluruh Indonesia dan Malaysia, adalah novel-novel berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Budaya literasi Minangkabau juga melahirkan tokoh penyair seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail dan tokoh sastra lainnya Sutan Takdir Alisjahbana.
Pantun dan pepatah-petitih
Dalam
masyarakat Minangkabau, pantun dan pepatah-petitih merupakan salah satu
bentuk seni persembahan dan diplomasi yang khas. Pada umumnya pantun
dan pepatah-petitih menggunakan bahasa kiasan dalam penyampaiannya.
Sehingga di Minangkabau, seseorang bisa dikatakan tidak beradat jika
tidak menguasai seni persembahan. Meski disampaikan dengan sindiran,
pantun dan pepatah-petitih bersifat lugas. Di dalamnya tak ada kata-kata
yang ambigu dan bersifat mendua. Budaya pepatah-petitih, juga digunakan
dalam sambah-manyambah untuk menghormati tamu yang datang.
Sambah-manyambah ini biasa digunakan ketika tuan rumah (si pangka) hendak mengajak tamunya makan. Atau dalam suatu acara pernikahan, ketika pihak penganten wanita (anak daro) menjemput penganten laki-laki (marapulai).
Selain berkembang di Sumatera Barat, pantun dan pepatah-petitih Minangkabau juga mempengaruhi corak sastra lisan di Riau dan Malaysia.
Contoh :
- Anak dipangku, kamanakan dibimbiang (Artinya : anak diberikan nafkah dan disekolahkan, serta kemenakan dibimbing untuk menjalani kehidupannya)
- Duduak marauk ranjau, tagak meninjau jarak (Artinya : hendaklah mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, dan jangan menyia-nyiakan waktu)
- Dima rantiang dipatah, disinan sumua digali (Artinya : dimana kita tinggal, hendaklah menjunjung adat daerah setempat)
- Gadang jan malendo, cadiak jan manjua (Artinya : seorang pemimpin jangan menginjak anggotanya, sedangkan seorang yang cerdik jangan menipu orang yang bodoh)
- Satinggi-tinggi tabang bangau, babaliaknyo ka kubangan juo (Artinya : sejauh-jauh pergi merantau, di hari tua akan kembali ke kampung asalnya)
Ukiran
Masyarakat
Minangkabau sejak lama telah mengembangkan seni budaya berupa ukiran,
pakaian, dan perhiasan. Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak nagari di Minangkabau. Namun saat ini seni ukir hanya berkembang di nagari-nagari tertentu, seperti Pandai Sikek. Kain merupakan media ukiran yang sering digunakan oleh masyarakat Minang. Selain itu ukiran juga banyak digunakan sebagai hiasan Rumah Gadang.
Ukiran Rumah Gadang biasanya berbentuk garis melingkar atau persegi,
dengan motif seperti tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan
berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran,
berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting
akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah. Disamping itu
motif lain yang dijumpai dalam ukiran Rumah Gadang adalah motif geometri
bersegi tiga, empat, dan genjang. Jenis-jenis ukiran Rumah Gadang
antara lain kaluak paku, pucuak tabuang, saluak aka, jalo, jarek, itiak pulang patang, saik galamai, dan sikambang manis.
Tarian
Tari-tarian
merupakan salah satu corak budaya Minangkabau yang sering digunakan
dalam pesta adat ataupun perayaan pernikahan. Tari Minangkabau tidak
hanya dimainkan oleh kaum perempuan tapi juga oleh laki-laki. Ciri khas
tari Minangkabau adalah cepat, keras, menghentak, dan dinamis. Adapula
tarian yang memasukkan gerakan silat ke dalamnya, yang disebut randai.
Tari-tarian Minangkabau lahir dari kehidupan masyarakat Minangkabau
yang egaliter dan saling menghormati. Dalam pesta adat ataupun
perkawinan, masyarakat Minangkabau memberikan persembahan dan hormat
kepada para tamu dan menyambutnya dengan tarian galombang. Jenis tari
Minangkabau antara lain: Tari Piring, Tari Payung, Tari Pasambahan, dan Tari Indang.
Bela diri
Pencak
Silat adalah seni bela diri khas masyarakat Minangkabau yang diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Pada mulanya silat
merupakan bekal bagi perantau untuk menjaga diri dari hal-hal terburuk
selama di perjalanan atau di perantauan. Selain untuk menjaga diri,
silat juga merupakan sistem pertahanan nagari (parik paga dalam nagari).
Pencak silat memiliki dua filosofi dalam satu gerakan. Pencak
(mancak) yang berarti bunga silat merupakan gerakan tarian yang
dipamerkan dalam acara adat atau seremoni lainnya. Gerakan-gerakan
mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukkan.Sedangkan silat merupakan suatu seni pertempuran yang dipergunakan
untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga
gerakan-gerakannya diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan
melumpuhkan lawan.
Orang yang mahir bermain silat dinamakan pendekar (pandeka).
Gelar pendekar ini pada zaman dahulunya dikukuhkan secara adat oleh
ninik mamak dari nagari yang bersangkutan. Kini pencak silat tidak hanya
diajarkan kepada generasi muda Minangkabau saja, namun juga telah
menyebar ke seluruh Nusantara bahkan ke Eropa dan Amerika Serikat.
Musik
Budaya Minangkabau juga melahirkan banyak jenis alat musik dan lagu. Di antara alat musik khas Minangkabau adalah saluang, talempong,
rabab, serta bansi. Keempat alat musik ini biasanya dimainkan dalam
pesta adat dan perkawinan. Kini musik Minang tidak terbatas dimainkan
dengan menggunakan empat alat musik tersebut. Namun juga menggunakan
istrumen musik modern seperti orgen, piano, gitar, dan drum. Lagu-lagu
Minang kontemporer, juga banyak yang mengikuti aliran-aliran musik
modern seperti pop, hip-hop, dan remix.
Sejak masa kemerdekaan Indonesia, lagu Minang tidak hanya dinyanyikan
di Sumatera Barat saja, namun juga banyak didendangkan di perantauan.
Bahkan adapula pagelaran Festival Lagu Minangkabau yang diselenggarakan
di Jakarta. Era 1960-an merupakan masa kejayaan lagu Minang. Orkes
Gumarang pimpinan Asbon Madjid,
merupakan salah satu kelompok musik yang banyak menyanyikan lagu-lagu
khas Minangkabau. Selain Orkes Gumarang, penyanyi-penyanyi Minang
seperti Elly Kasim, Ernie Djohan, Tiar Ramon, dan Oslan Husein,
turut menyebarkan musik Minang ke seluruh Nusantara. Semaraknya
industri musik Minang pada paruh kedua abad ke-20, disebabkan oleh
banyaknya studio-studio musik milik pengusaha Minang. Selain itu,
besarnya permintaan lagu-lagu Minang oleh masyarakat perantauan, dan
menjadi faktor kesuksesan industri musik Minang.
Upacara dan festival
- Tabuik
- Makan bajamba
- Turun mandi
- Batagak pangulu
- Turun ka sawah
- Manyabik
- Hari Rayo
- Pacu jawi
- Pacu itiak